Bagaimana Jantung Bekerja Ketika Berolahraga
Jantung adalah organ vital yang memainkan peran penting dalam sistem kardiovaskular manusia, terutama saat seseorang berolahraga (Guyton & Hall, 2016). Saat tubuh mulai melakukan aktivitas fisik, jantung bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi yang meningkat pada otot (McArdle, Katch, & Katch, 2015). Peningkatan kebutuhan energi ini mengharuskan jantung untuk meningkatkan kapasitas kerjanya dengan berbagai mekanisme fisiologis yang kompleks (Joyner & Casey, 2015).
Ketika seseorang mulai berolahraga, sistem saraf simpatis diaktifkan, menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraksi miokardium yang lebih kuat (Wilmore, Costill, & Kenney, 2008). Proses ini dikenal sebagai respons kardiovaskular awal terhadap olahraga dan terjadi dalam beberapa detik pertama setelah aktivitas dimulai (Astrand & Rodahl, 2003). Aktivasi ini juga merangsang pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin yang semakin meningkatkan kerja jantung dan mempersiapkan tubuh untuk menghadapi stres fisik (Brooks, Fahey, & Baldwin, 2005).
Selain itu, curah jantung, yaitu volume darah yang dipompa oleh jantung per menit, meningkat secara signifikan selama olahraga (Fletcher et al., 2018). Peningkatan curah jantung ini terjadi karena peningkatan volume sekuncup dan frekuensi denyut jantung (Powers & Howley, 2017). Penelitian menunjukkan bahwa pada individu terlatih, peningkatan curah jantung lebih banyak disebabkan oleh volume sekuncup yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan denyut jantung (Saltin & Calbet, 2006). Dalam kondisi maksimal, curah jantung atlet elite dapat meningkat hingga lima hingga enam kali lipat dibandingkan saat istirahat (Levine, 2008).
Seiring meningkatnya intensitas latihan, terjadi redistribusi aliran darah, di mana lebih banyak darah dialihkan ke otot yang bekerja dan lebih sedikit yang mengalir ke organ-organ seperti ginjal dan saluran pencernaan (Rowell, 2013). Hal ini memungkinkan otot mendapatkan lebih banyak oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan kinerja selama latihan (Brooks, Fahey, & Baldwin, 2005). Mekanisme ini dikendalikan oleh faktor metabolik lokal yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di otot aktif dan vasokonstriksi di daerah yang kurang membutuhkan darah (Laughlin et al., 2012).
Selain itu, olahraga juga meningkatkan efisiensi sistem peredaran darah dengan meningkatkan elastisitas pembuluh darah dan menurunkan resistensi vaskular (Joyner & Casey, 2015). Peningkatan elastisitas ini membantu jantung bekerja lebih efisien dalam memompa darah ke seluruh tubuh (Seals, Desouza, Donato, & Tanaka, 2008). Studi menunjukkan bahwa individu yang rutin berolahraga mengalami peningkatan kapasitas vaskular yang berkontribusi pada penurunan risiko penyakit kardiovaskular dalam jangka panjang (Green et al., 2017).
Ketika seseorang berolahraga dalam durasi yang cukup lama, tubuh mulai mengandalkan mekanisme pengaturan tekanan darah untuk mencegah hipertensi akibat peningkatan curah jantung (Halliwill, 2001). Vasodilatasi perifer terjadi untuk mengurangi beban jantung dan menjaga tekanan darah tetap stabil selama latihan (Kenney, Wilmore, & Costill, 2020). Selain itu, olahraga aerobik yang teratur diketahui dapat menurunkan tekanan darah istirahat pada individu dengan hipertensi (Cornelissen & Smart, 2013).
Pada individu yang berlatih secara teratur, jantung mengalami adaptasi fisiologis yang disebut hipertrofi ventrikel kiri, di mana dinding ventrikel kiri menjadi lebih tebal dan kuat untuk meningkatkan kapasitas pompa jantung (Pluim et al., 2000). Adaptasi ini membantu atlet memiliki denyut jantung istirahat yang lebih rendah dan kapasitas aerobik yang lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak terlatih (Fagard, 2003). Selain itu, latihan fisik juga meningkatkan efisiensi mitokondria dalam sel miokardium, sehingga meningkatkan kinerja energi jantung (Holloszy & Coyle, 1984).
Setelah sesi olahraga selesai, tubuh memasuki fase pemulihan di mana denyut jantung mulai kembali ke tingkat normalnya (Imai et al., 1994). Laju pemulihan jantung ini dapat menjadi indikator kebugaran kardiovaskular seseorang, di mana individu yang lebih fit memiliki pemulihan denyut jantung yang lebih cepat dibandingkan mereka yang kurang fit (Cole et al., 1999). Faktor-faktor seperti hidrasi, suhu tubuh, dan durasi latihan juga mempengaruhi kecepatan pemulihan ini (Stanley, Peake, & Buchheit, 2013).
Olahraga juga memiliki efek jangka panjang yang positif terhadap jantung, termasuk peningkatan kapasitas aerobik, peningkatan sensitivitas insulin, dan penurunan kadar kolesterol LDL (Thompson et al., 2007). Dengan latihan yang teratur, sistem kardiovaskular dapat mengalami berbagai adaptasi positif yang mendukung kesehatan jantung dan meningkatkan performa fisik secara keseluruhan (Lee et al., 2012). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa individu yang rutin berolahraga memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit jantung koroner dan stroke dibandingkan mereka yang menjalani gaya hidup sedentari (Myers et al., 2002).
Dengan demikian, pemahaman tentang bagaimana jantung bekerja selama olahraga dapat membantu individu merancang program latihan yang optimal untuk kesehatan kardiovaskular. Menjaga pola latihan yang seimbang dan teratur dapat memberikan manfaat besar bagi kesehatan jantung dalam jangka panjang serta meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan (Garber et al., 2011).
0 $type={blogger}:
Posting Komentar